Minggu, 07 November 2010

Letusan Anakan Gunung Krakatau


KRAKATAU
Krakatau adalah gunung berapi yang masih aktif dan berada di Selat Sunda
antara pulau Jawa dan Sumatra. Gunung berapi ini pernah meletus pada tanggal
26 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya
menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini
adalah yang terdahsyat. Suara letusan Gunung Krakatau sampai terdengar di
Alice Springs, Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer.
Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak
di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.
Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap
selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer.
Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di
langit Norwegia hingga New York.
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan
Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung Tanpo di Selandia
Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus
jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung
Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi
telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah
dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi
sedang tumbuh dan berkembang pesat.
Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di
dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya
belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu
bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.
Perkembangan Gunung Krakatau
Gunung Krakatau Purba
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan
bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang

akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
“ Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula
goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah
badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia.
Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju
Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua,
menciptakan pulau Sumatera ”
Pakar geologi B.G. Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa
kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang
dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja
Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas
permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur
menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya
dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan
lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung.
Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad
kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur
mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka
bumi.
Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia
purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya
peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya
peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau
Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan
muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah
membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur
sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
MUNCULNYA GUNUNG KRAKATAU
Perkembangan Gunung KrakatauPulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga
pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan
vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Rakata yang
terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah
kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian
menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga
gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung Krakatau pernah meletus pada tahun 1680 menghasilkan lava andesitik
asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung Perbuwatan aktif mengeluarkan lava
meskipun tidak meletus. Setelah masa itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di
Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi
ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya
letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan
letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-28 Agustus 1883.
Letusan Gunung Krakatau
Pada hari Senin, 27 Agustus 1883, tepat jam 10.20, meledaklah gunung itu.
Menurut Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris
yang juga penulis National Geoghrapic mengatakan bahwa ledakan itu adalah
yang paling besar, suara paling keras dan peristiwa vulkanik yang paling
meluluh-lantakkan dalam sejarah manusia moderen. Suara letusannya terdengar
sampai 4.600 km dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8
penduduk bumi saat itu.
Menurut para peneliti di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama
Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar
dalam sejarah modern. Sedangkan buku The Guiness Book of Records mencatat
ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam
sejarah.
Selain itu, ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu
vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya
mencavai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di
dataran pulau Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan,
Australia dan Selandia Baru.
Akibat letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta
sebagian Gunung Rakata dimana setengah kerucutnya hilang, membuat
cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang laut naik setinggi 40
meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai.
Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah
laut.
Tercatat jumlah korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295
kampung kawasan pantai mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di
Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung
Kulon serta Sumatera Bagian selatan. Di Ujungkulon, air bah masuk sampai 15
km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk
Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang
Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai
barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer.
Anak Krakatau
Mulai pada tahun 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung
Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari
kawasan kaldera purba tersebut yang masih aktif dan tetap bertambah
tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 20 inci per bulan. Setiap
tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki dan lebih lebar 40 kaki. Catatan lain
menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka
dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci atau
500 kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu
disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini
ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut,
sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari
permukaan laut.
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan
Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta
tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang
dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti
kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan
in bakal terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar
Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.
Menurut Profesor Ueda Nakayama salah seorang ahli gunung api
berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering


http://htmlimg4.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/5-1ed63f7819/000.jpg


http://htmlimg2.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/6-bf00559d53/000.jpghttp://htmlimg2.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/6-bf00559d53/000.jpg


http://htmlimg4.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/7-575069ce4d/000.jpghttp://htmlimg4.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/7-575069ce4d/000.jpg


http://htmlimg3.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/8-cc9224ef5c/000.jpghttp://htmlimg3.scribdassets.com/53m3l680ecv2gow/images/8-cc9224ef5c/000.jpg

JAKARTA, MINGGU-- Jauh sebelum peneliti asing menulis tentang meletusnya
Gunung Krakatau (Krakatoa, Carcata) tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883,
seorang pribumi telah menuliskan kesaksiaan yang amat langka dan menarik,
tiga bulan pascameletusnya Krakatau, melalui Syair Lampung Karam. Peneliti
dan ahli filologi dari Leiden University, Belanda, Suryadi mengatakan hal itu
kepada Kompas di Padang, Sumatera Barat, dan melalui surat elektroniknya dari
Belanda, Minggu (31/8).
"Kajian-kajian ilmiah dan bibiliografi mengenai Krakatau hampir-hampir luput
mencantumkan satu-satunya sumber pribumi tertulis, yang mencatat kesaksian
mengenai letusan Krakatau di tahun 1883 itu. Dua tahun penelitian, saya
menemukan satu-satunya kesaksian pribumi dalam bentuk tertulis, " katanya.
Sebelum meletus tanggal 26, 27, dan 28 Agustus 1883, gunung Krakatau telah
batuk-batuk sejak 20 Mei 1883. Letusan dahsyat Krakatau menimbulkan awan
panas setinggi 70 km dan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan sekitar
36.000 orang.
Sebelum meletus tahun 1883, Gunung Krakatau telah pernah meletus sekitar
tahun 1680/1. Letusan itu memunculkan tiga pulau yang saling berdekatan;
Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata. Suryadi menjelaskan,
selama ini yang menjadi bacaan tentang letusan Gunung Krakatau adalah
laporan penelitian lengkap GJ Symons dkk, The Eruption of Krakatoa and
Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society
(London, 1883).
Sedangkan sumber tertulis pribumi terbit di Singapura dalam bentuk cetak batu
(litography) tahun 1883/1884. Kolofonnya mencatat 1301 H (November 1883-
Oktober 1884). Edisi pertama ini berjudul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki
oleh Air dan Hujan Abu (42 halaman). " Tak lama kemudian muncul edisi kedua
syair ini dengan judul Inilah Syair Lampung Dinaiki Air Laut (42 halaman). Edisi
kedua ini juga diterbitkan di Singapura pada 2 Safar 1302 H (21 November 1884),
" paparnya.
Edisi ketiga berjudul Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang Naik Air
Laut (49 halaman), yang diterbitkan oleh Haji Said. Edisi ketiga ini juga
diterbitkan di Singapura, bertarikh 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886). Dalam
beberapa iklan, edisi ketiga ini disebut Syair Negeri Anyer Tenggelam. " Edisi
keempat syair ini, edisi terakhir sejauh yang saya ketahui, berjudul Inilah Syair
Lampung Karam Adanya (36 halaman). Edisi keempat ini juga diterbitkan di
Singapura, bertarikh 10 Safat 1306 H (16 Oktober 1888)," ungkap Suryadi, yang
puluhan hasil penelitiannya telah dimuat di berbagai jurnal internasional.
Menurut Suryadi, khusus teks keempat edisi syair itu ditulis dalam bahasa
Melayu dan memakai aksara ArabMelayu (Jawi). Dari perbandingan teks yang ia
lakukan, terdapat variasi yang cukup signifikan antara masing-masing edisi. Ini
mengindikasikan pengaruh kelisanan yang masih kuat dalam tradisi
keberaksaraan yang mulai tumbuh di Nusantara pada paroh kedua abad ke-19.
Suryadi yang berhasil mengidentifikasi tempat penyimpanan eksemplar seluruh
edisi Syair Lampung Karam yang masih ada di dunia sampai saat ini
menyebutkan, Syair Lampung Karam ditulis Muhammad Saleh.
Ia mengaku menulis syair itu di Kampung Bangkahulu (kemudian bernama
Bencoolen Street) di Singapura. " Muhammad Saleh mengaku berada di Tanjung
Karang ketika letusan Krakatau terjadi dan menyaksikan akibat bencana alam
yang hebat itu dengan mata kepalanya sendiri. Sangat mungkin si penulis syair
itu adalah seorang korban letusan Krakatau yang pergi mengungsi ke Singapura,
dan membawa kenangan menakutkan tentang bencana alam yang mahadahsyat
itu," katanya.

Bisa direvitalisasi
Suryadi berpendapat, Syair Lampung Karam dapat dikategorikan sebagai syair
kewartawanan, karena lebih kuat menonjolkan nuansa jurnalistik. Dalam Syair
Lampung Karam yang panjangnya 38 halaman dan 374 bait itu, Muhammad
Saleh secara dramatis menggambarkan bencana hebat yang menyusul letusan
Gunung Krakatau tahun 1883. Ia menceritakan kehancuran desa-desa dan
kematian massal akibat letusan itu. Daerah-daerah seperti Bumi, Kitambang,
Talang, Kupang, Lampasing, Umbulbatu, Benawang, Badak, Limau, Lutung,
Gunung Basa, Gunung Sari, Minanga, Tanjung, Kampung Teba, Kampung
Menengah, Kuala, Rajabasa, Tanjung Karang, juga Pulau Sebesi, Sebuku, dan
Merak luluh lantak dilanda tsunami, lumpur, dan hujan abu dan batu.
Pengarang menceritakan, betapa dalam keadaan yang memilukan dan kacau
balau itu orang masih mau saling tolong menolong satu sama lain. Namun, tak
sedikit pula yang mengambil kesempatan untuk memperkaya diri sendiri
dengan mengambil harta benda dan uang orang lain yang ditimpa musibah.
Selain menelusuri edisi-edisi terbitan Syair Lampung Karam yang masih tersisa
di dunia sampai sekarang, penelitian Suryadi juga menyajikan transliterasi (alih
aksara) teks syair ini dalam aksara latin.
"Saya berharap Syair Lampung Karam dapat dibaca oleh pembaca masa kini
yang tidak bisa lagi membaca aksara Arab-Melayu (Jawi). Lebih jauh, saya ingin
juga membandingkan pandangan penulis pribumi (satu-satunya itu) dengan
penulis asing (Belanda/Eropa) terhadap letusan Gunung Krakatau," jelas
Suryadi.
Peneliti dan dosen Leiden University ini menambahkan, teks syair ini bisa
direvitalisasi untuk berbagai kepentingan, misalnya di bidang akademik,
budaya, dan pariwisata. Salah satunya adalah kemungkinan untuk
mengemaskinikan teks Syair Lampung Karam itu dalam rangka agenda tahunan
Festival Krakatau. Juga dapat direvitalisasi dan diperkenalkan untuk
memperkaya dimensi kesejarahan dan penggalian khasanah budaya dan sastra
daerah Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar